A L E N A

Karya: Supriya, S.Pd

Memang beberapa minggu terakhir itu aku banyak kegiatan menulis, yah sekadar iseng. Kebetulan itu malam Minggu jadi aku santai sambil dengarkan musik. Tiba-tiba istriku “Yah, kok muter musiknya etnik dayak?”

“Kebetulan musiknya lembut dan enak didengar.” Aku berbohong padahal aku mutar musik iringan sape’ itu karena memang aku rindu, rindu masa lalu. Rindu Alena. Alena adalah gadis Kenyah yang sempat kutaksir bersamaan dengan wanita yang sekarang jadi istriku. Namun aku tak harus menyampaikan kepada istriku kalau aku pernah dekat dengannya.

Sebetulnya kejadian malam itu di gedung bioskop, aku nonton bersama wanita yang sekarang jadi istriku. Lampu dalam gedung bioskop memang remang-remang sehingga tak jelas memandang orang yang datang duluan.

Rupanya Alena malam itu juga nonton film di gedung itu hanya datang lebih awal. Aku gandeng wanita yg sekarang jadi istriku, sebut saja Dani.

Begitu aku dengan Dani, ternyata di belakang kursiku sudah duduk Alena bersama teman wanita, melihat aku berdua dengan Dani dia langsung pergi menjauh dariku.

Sebetulnya kalau malam itu aku tidak ketahuan bersama Dani, mungkin bukan Dani yang jadi istriku tapi Alena.

Alena begitu memesona, sebetulnya aku jatuh cinta padanya tapi waktu itu masih ragu akan kemampuanku untuk membimbingnya. Waktu itu aku terlanjur menyatakan cintaku kepada Dani dan diapun menerimaku sehingga keinginan bertemu Alena berangsur kurang akhirnya lupa karena aku menikah dengan Dani.

Selama mengarungi samudera kehidupan bahtera kami baik-baik saja. Wajarlah ada riak-riak kecil, sebab itulah seni berumah tangga.

Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang sebentar tapi untuk melupakan bukan perkara mudah. Kerinduanku kepadanya tak boleh ada yang tahu cukup aku dan Tuhan.

Pernah suatu malam aku sengaja tidur menyendiri untuk menikmati kerinduanku, rindu kepada Alena. Tak mungkin menghubunginya karena tidak tahu rimbanya.

Waktu itu, kalau kami bertemu harus langsung tak seperti sekarang ada telpon, bisa sms, bisa WA dan lainnya. Aku cukup sederhana untuk menngobati rindu, cukup musik sape kuputar, pernah suatu malam kuputar musik itu berulang sampai tertidur, tahu-tahu aku bangun pukul 03.00.

Alena adalah sape’ dan sape’ adalah Alena, alunan suaramu sanggup membuatku terbang ke angkasa dan tidur bersama bintang-bintang. Hari itu hari Minggu pas cuaca kurang bersahabat, agak muram matahari enggan berbagi sinarnya.

Duduk di depan laptop yang sebenarnya mau menulis namun keybord laptopku hurufnya hanya A L E N A, semua terbaca alena. Semakin jauh semakin lama rinduku kepada Alena bukan berkurang tapi justru bertambah, karena itu aku tulis surat terbuka buat Alena.

Teruntuk Alena

di mana saja berada

Salam rindu,

Kuharap dirimu baik-baik saja bersama anak dan suamimu, maaf Alena ini terpaksa kulakukan karena dorongan hati tak sanggup kutahan.

Alena jika kau baca surat ini tentunya tidak seperti tujuh belas tahun lalu saat aku mengenalmu, kini semua sudah berubah kecuali rinduku padamu. Alena maafkan aku atas kejadian di dalam gedung bioskop, aku tahu kau cemburu karena bersama wanita lain tapi bukan dirimu.

Alena, kamu berhak cemburu sebab sebenarnya hati kita sudah terpaut hanya ada keterlanjuran aku menjatuhkan pilihan kepada wanita lain bukan dirimu.

Alena, jika waktu bisa diputar kembali tentunya aku akan menjatuhkan pilihan kepadamu.

Alena, semua telah terjadi dan kau pun pergi entah kemana, semoga saja rindu itu tetap terjaga bersama alunan musik sape’.

Alena semoga kau bahagia bersama orang-orang tercinta, berbahagialah dengan caramu, dan aku pun demikian.

Alena kuakhiri suratku untukmu, biarlah rindu ada tapi cinta tak usah berbagi, karena kita bukanlah rembulan yg bisa berbagi sinarnya.

Itulah surat terbuka buat Alena. Sekadar berbagi cerita tentang Alena yang tak sempat kumiliki. Alena adalah bidadari masa lalu yang tak sempat kumiliki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *