Dua Sisi Hati

Oleh: Supriya

Akhirnya kudapatkan juga nomor kontak wanita itu lewat sahabatku di kampung. Cukup lama aku menanti untuk dapat nomor kontaknya, ya nomor kontak wanita itu, wanita yang pernah kusakiti, wanita yang pernah mengisi hatiku tapi kini kucampakkan begitu saja. Aku putuskan nikah dengan wanita lain bukan dengan dia, rasanya aku dulu tanpa beban untuk memutus secara sepihak. Dia kuberi kabar bahwa aku akan segera nikah setelah itu tak ada kabar apapun, kami putus. Aku tak berpikir bahwa perbuatanku berdampak sangat buruk bagi wanita itu.

Selanjutnya aku menjalani kehidupan baru bersama wanita pilihanku – Sisi namanya, lengkapnya Sisilia. Aku merasa bahagia apalagi setelah anak pertama kami lahir. Semua kenangan indah, suka duka yang kami bangun hampir lima tahun sirna tak tersisa. Tak terbayang bahwa ada wanita lain yang hatinya remuk berkeping-keping ditinggal kekasih hatinya yang dipercaya ternyata berkhianat. Memang kadang lelaki itu realitis dalam memandang cinta termasuk aku. Aku rela disebut pengkhianat demi kebahagianku bersama wanita pilihanku yang jadi istriku sekarang. Istriku tak pernah tahu dan tak akan kuberi tahu bahwa aku sudah punya pacar ketika menikah dengannya. Aku sangat menjaga perasaan wanita, aku tak ingin istriku merasa bersalah.  Kehidupan rumah tanggaku sangat harmonis, anak semata wayangku selalu membuat kami terhibur. Istriku juga sangat pengertian meski ada saja hal yang tak berkenan maklum memadukan dua budaya itu tak mudah, harus ada yang mengalah terutama aku. Aku harus sering mengajari bagaimana menjadi istri yang baik.

Sore itu gerimis tipis mengantar senja ke pelukan malam , membuatku malas kemana-mana, kurebahkan badanku di ranjang samping meja kerjaku. Terlintas dalam benakku bagaimana keadaan Nunung, ya Nunung wanita yang kutinggal nikah dengan Sisi, tak terbayangkan betapa sakitnya. Dalam hati kecil tersimpan penyesalan, rasa salah dan dosa, aku merasa dikejar dosa. Betapa tidak, dia yang kukenal sejak kelas dua SMA dan berlanjut sampai aku kuliah berakhir duka. Lama-lama pikiranku makin berjalan kebelakang ke masa lalu. Tiba-tiba, “Yah, ngopi nggak?” suara wanita dari sebelah kamar, yaitu suara istriku yang sangat mengerti ketika cuaca seperti itu perlu kopi. “Ya, bisa. Tapi jangan manis-manis karena istriku sudah manis.” Godaku. “Alah gombal.” Jawabnya. Tak lama aroma kopi sudah tercium. Aroma kopi dan kehadiran istriku membuyarkan lamunanku tentang Nunung. “Yah, diminum kopinya mumpung masih panas.! Pinta istriku, kuambil gelas kopi dengan hati-hatikarna memang panas. “Yah, aku tak bisa menemanimu ngopi karena harus membereskan dapur.” Kujawan singkat “Okey.” Bebepa seruput kopi telah mendarat di dalam kerongkonganku.

Pagi yang cerah namun kabut tipis masih menyelimuti suasana pagi karena hujan semalam. Tanaman bunga-bunga dan tanaman hias tampak segar, seperti biasa istriku sebelum kerja pasti menyiram tanamannya namun pagi ini tidak karena hujan telah mengguyurnya semalam.

“Yah, Ayah nggak kerjakah kok santai? Tanya istriku,

 “Nggak.” Jawabku singkat. Tak lama kemudian istriku berangkat kerja.

Sendiri di rumah, anakku sudah berangkat sekolah bersama ibunya tadi pas ke kantor. Kududuk di kursi terasku, sambil mengotak-ngutik hp, tiba-tiba ingat nomor yang diberi oleh sahabatku yaitu nomor Nunung, aku bingung harus memulai dengan kata apa kalau aku telpon dia, pasti dia juga bingung mendapat telpon dari orang yang dikenal. Nomor kontak bertulis Nn sudah kupencet, kontak sudah sambung tapi kumatikan, kepencet lagi kumatikan lagi sebab aku bingung untuk memulai dengan kata apa.

        Akhirnya kuberanikan diri “ Assalamu’alaikum.”

        “Wa’alaikumusalam.”

Tanganku gemetar jantungku bergegup kencang

“Ini siapa ya? Lanjutnya

“Aku yang di Kaltim.”

“Aduh siapa ya?”

“Oh Mas Pung, apa kabar?, tanyanya. Seharusnya  yang bertanya tentang kabar dia  itu karena aku yang nelpon duluan.

Suaranya masih lembut seperti yang dulu – puluhan tahun silam.

Dia bisa langsung menebak karena waktu itu aku bilang kalau mau ke Kaltim.

“Baik, bagaimana keluargamu?”

“Baik Mas, tapi …” balasnya tanpa dilanjutkan.

“Nung, aku mohon maaf atas salahku, aku telah meninggalkanmu, aku telah mengkhianatimu.” Suaraku terasa serak.

“Nggak apa-apa Mas, semua telah digaris oleh Tuhan.”

“Terima kasih ya Nung, lanjutku “Di mana Kokom?”

“Ada di Surabaya juga.” Jawabnya

“Aku minta kontaknya ya.” Pintaku tak lama kemudian SMS masuk ke hpku.

Teleponan kami masih berlanjut dengan basa-basi. Akhirnya aku minta pamit umtuk menghubungi adiknya. Tak lama kemudian aku mencoba memencet nomor kontak yang telah dikirim tadi.

Telpon sudah nyambung

“Halo, ini no Kokom ya?”

“Ya betul, siapa Anda?

“Mas Pung.”

“Dari siapa kok Mas tahu nomor saya?”

“Dari Mbak Nung.”

“ Mas, izinkan aku ngomong panjang ya?” pintanya

“Silakan.”

“Mas perlu tahu, semenjak Mbak tinggal nikah itu Mbak menutup diri buat laki-laki selama dua tahun. Mbak sampai sakit akhirnya opname di rumah sakit. Dengar Mas?

“Dengar-dengar.” Jawabku

“Mas adalah lelaki pengecut, lelaki tak bermoral. Berbuat seenaknya.

“Ya, aku memang salah. Aku mohon maaf.”

“Mas sudah minta maaf sama Mbak belum?

“Sudah.”

“Mas perlu tahu, Mbak itu orang yang paling sengsara, Mbak sekarang sudah janda. Dia ditinggal mati suaminya.”

“Ya, ya aku ngerti” setelah itu aku aku akhiri pembicaraan sebelum nanti aku didamprat lebih panjang.

Hari berikutnya aku telpon Nunung

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumusalam.”

“Bagaimana kabar selanjutnya?” tanyaku penuh perhatian.

“Baik Mas, cuma anak ku lagi sakit.”

“Siapa?” tanyaku

“Yang sulung kena tipus.”

“Oh ya, sudah dibawa ke rumah sakit belum?

“Sudah.”

“Ya, semoga cepat sembuh.”

Telepon kuakhiri. Tapi aku tak berani bertanya lebih jauh tentang suaminya, takut menambah luka hatinya.

      Hatiku plong, aku telah meminta maaf, aku telah memohon ampun atas dosa masa lalu yang membuatnya menderita. Berapa hari berikutnya aku ingin memastikan keadaan mereka – dia dan anak-anaknya. Beberapi kali kucoba memencet nomor kontak yang telah kusimpan di hpku namun jawabannya “Nomor yang anda tuju tidak bisa dihubungi.” Kucoba lagi tetap sama, beralih ke kontak Kokom juga sama. Akhirnya aku merenung sejenak, kesimpulanku bahwa mereka tak mau dihubungi lagi. Sampai sekarang nomor kontak itu tak bisa dihubungi, berarti aku telah kehilangan jejak.

       Memang benar untuk apa kita berhubungan dengan orang yang telah menyakiti, semakin sering bertemu hanya akan menambah luka hati. Dengan perasaan bersalah aku hanya bisa memohon maaf kepada Tuhan dan mendoakan agar mereka sehat selalu dan bahagia meskipun aku tak bisa ikut membahagiakan. Tiada kata yang lebih berharga kecuali maaf dari kalian – para wanita yang pernah dekat denganku- Nunung kekasihku dan Kokom adikku. Selamat berbahagia entah di mana?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *